Jumat, 04 Juni 2010

KEKUATAN SEMANGAT

KEKUATAN SEMANGAT,
SEJARAH DAN BUDAYA

Kita harus menyadari bahwa: "pengusaan penjajah (baca: regime Indonesia-Jawa) berakibat menyeluruh dan kelihatannya mudah, dengan secepatnya berhasil menghancurkan budaya bangsa yang dijajahnya (baca: bangsa Sumatra). Penghancuran kebudayaan ini menjadi kenyataan penolakan rasa kebangaan, diikuti dengan hubungan baru yang diperkenalkan oleh pihak berkuasa, serta menghapuskan bangsa asli dan cara hidup mereka ... sekaligus merampas harta mereka dan juga menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai budaknya ... semua usaha dijalankan, supaya bangsa yang terjajah itu mengaku akan kekurangan budayanya yang telah menyatu dengan tingkah lakunya, agar tidak mengakui terwujudnya suatu bangsa. Lebih tegas lagi usaha untuk mengahancurkan segala struktur kehidupan bansa yang selama ini telah tersusun dan beljalan". Demikian kata Frantz Fanon. Fanon, adalah seorang ahli Psychology perang Perancis yang melakukan penelitian bertahun-tahun di Aljazair hingga Aljazair menyatakan kemerdekaannya, tahun 1962.

Apa yang dikemukakanya adalah hasil penelitian yang cermat di Aljazair. Fanon, sesudah menyaksikan kehidupan bangsa Aljazair di bawah penjajahan Perancis dan bagaimana prilaku penjajah di sana, dengan cara sistematik mereka merusakkan tingkah laku sehari-hari bangsa Aljazair - cara berpakaian - berbahasa - berbudaya - hukum - Ekonomi - peranan dan kekuwatan militer - sistem pemerintahan - cara berpikir yang kebarat-baratan dan lain-lainnya. Akhirnya Fanon meyimpulkan: "Aljazair adalah Perancis!"

Apa yang dilakukan oleh penjajah Perancis terhadap bangsa Aljazair sama dengan apa yang dilakukan oleh penjajah Jawa keatas bangsa-bangsa Sumatra. Seluruh aspek kehidupan bangsa-bangsa Sumatra telah dijajah dan perkara ini nampak sekali dalam kehidupan bangsa Sumatra: Generasi muda Sumatra merasa rendah diri dengan kebudayaan dan bahasanya sendiri; ... Orang Minang sudah merasa malu berbahasa Minang, meskipun mereka bertutur bersama bangsa Minang. Kata Ambou, untuk menyatakan saya, ditukar dengan kata ´Gua` atau ´Gue`; ... kata Uda atau Ajo, ditukar dengan kata ´Mas`; ... kata Kakak, ditukar dengan kata ´Embak`; ... kata Paman diganti dengan ´Om`; ... kata Makcik ditukar dengan ´Tante` dan seterusnya. Malah ada nama bangsa Minang `Gusti Paryogi`, ´Sumarni` dan ´Ngadimun`. Apa sudah jadinya ???

Demikian juga yang terjadi dikalangan bangsa Batak. Kata ´Inang Boru` untuk sebutan kakak ditukar dengan ´Embak`, kata ´Tulang` untuk meyatakan Paman, telah ditukar menjadi ´Pakde`, kata ´Opung` untuk sebutan kakek, menjadi ´Enkong` dan ´Embah`. Malah dewasa ini tidak asing lagi kita dengar ada orang bernama ´Sudarmono Panjaitan`, ´Pramono Siregar`, ´Utoyo Simamora`. Aneh tapi nyata !!! demikian juga bangsa Acheh banyak yang menukar namanya seperti: ´Teuku Djunet` menjadi ´Turino Junaidi` (sutradara film di Jakarta). Bangsa-bangsa Sumatra merasa malu berbahasa sendiri. pergeseran nilai budaya seperti ini adalah satu tanda bahwa seseoran atau suatu bangsa sudah kehilangan sifat manusia (characterless) berbudaya dan beradab. Sebagai penjajah, bangsa Jawa, mewajibkan pelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah di Jawa. Sementara itu, bahasa bangsa lain yang dijajahnya, tidak diperbolehkan diajarkan di sekolah-sekolah di luar pulau Jawa.

Apa akibatnya? bangsa-bangsa Sumatra akan kehilangan bahasa sendiri dalam pergaulan sehari-hari. Sementara itu bahasa Jawa akan menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah dan dalam percakapan sehari-hari. Kini istilah bahasa Jawa sudah menguasai Surat-surat Kabar, Radio, TV dan ´Media Massa` lainnya. Pernyataan politik dalam bahasa Jawa yang keluar dari mulut seorang pejabat orang Jawa, harus dikutip oleh Surat Kabar sebagai mana aslinya. Inilah wujud dari penjajahan bentuk baru yang telah melanda bansa-bangsa Sumatra. Selain itu dipaksakan untuk kita ketahui, seperti kata: ´pancasila` , untuk menyatakan lima dasar; ´bhayangkara`, untuk meyebut isteri polisi; ´bhinneka tunggal ika`, untuk menyatakan berbeda tapi satu; ´bhina graha`, untuk menyatakan kantor Presiden; ´graha purnayudha`, untuk menyatakan pensiun; ´kartika chandra kirana`, untuk menyatakan persatuan isteri-isteri tentara; ´tutwuri handayani`, untuk menyatakan falsafah pendidikan nasional "indonesia" ; ´ing-ngarso sungtulodo, ing madio mangun karso`, untuk menyatakan falsafah kepemimpinan nasional; ´kartika eka paksi`, untuk menyatakan pensiunan Angkatan Darat; ´dharma wanita`, untuk menyatakan perkumpulan isteri pegawai negeri abdi dalem. Bangsa-bangsa Sumatra tidak pernah mengenal kata-kta ini, baik dalam kamus bahasa Melayu dan di negara tetangga (Malaysia, Brunai Darussalam dan Pathani).

Apa yang kami kemukakan ini ternyata senada dengan hasil penelitian Dr. Samsuddin Rahmat yang mengatakan: "Bahasa Melayu yang dipakai di Indonesia telah mengalami "Jawanisasi" baik dari segi sebutan, suasana bahasa mahu pun vokabolarinya, ... dan Indonesia rasanya sudah tidak akan mungkin kembali kepada bahasa Melayu. Politik Indonesia sesungguhnya dikuasai oleh orang-orang Jawa dan sebahagian besar Menterinya juga orang Jawa." Dr. Samsuddin Rahmat. "Serumpun tapi kenapa tidak sekata". Utusan Melayu, 27 Januari, 1993.

Jika kita selidiki lebih jauh, semua kata ini berasal dari bahasa Jawa Kuno ( Kerajaan Majapahit yang sarat penuh dengan mithos dan dongeng itu). Setiap kata ini mempunyai arti penting bagi si penjajah Indonesia-Jawa untuk melakukan penipuan dalam bidang budaya dan politik.

Menyinggung soal Kerajaan Majapahit, maka dapat kita simpulkan dari tulisan seorang ahli sejarah Belanda. Dr. c.c.Berg sebagai berikut: "Betapa kurangnya kenyataan-kenyataan sejarah yang dapat membuktikan bahwa Majapahit pernah menguasai seluruh Indonesia. Majapahit paling hanya menguasai pulau Jawa dan Bali. Demikian pula cerita-cerita prapanca dan Hikayat Negara Kertagama, terbukti lebih banyak bersifat dongeng dari pada sejarah ." Dr. c.c.Berg. "De sadeng Oorlog en de Mythe van Groot Majapahit." Tahun 1951-1952.

Bangsa-bangsa Sumatra disuruh mengunyah dan menelan bahasa Jawa yang pengajarannya dipaksakan melalui sekolah -sekolah dan ´media masa`, seperti: Radio, TV, Surat Kabar dan Majalah serta buku-buku: Cerpen (cerita pendek), komik, malah dalam film mau pun drama-drama radio. Hingga bahasa Jawa ini telah melengket di gusi kita dan akhirnya kita lebih fasih mengucapkannya dibanding bertutur bahasa kita sendiri - Melayu asli. Keyataannya, Bahasa Melayu tersingkir - dan tidak seorang pun ahli bahasa Melayu yang berani membantah masalah ini di hadapan penjajah Indonesia-Jawa. Ini satu bukti penjajahan bahasa terhadap bangsa Sumatra.

Kita harus sadar dan paham bahwa bahasa adalah satu petunjuk apakah suatu bangsa masih ada atau tidak - dan suatu tanda yang menunjukan bahwa suatu bangsa berperadaban atau tidak. Bahasa adalah anugerah Allah. "Allah yang mengajarkan engkau pandai berbicara." (Qur`an. surat Ar-Rahman, ayat 4). Begitulah arti pentingnya bahasa dan kehidupan suatu bangsa .

Sebenarnya ada tiga perkara yang selalu berhubungan dengan budaya suatu bangsa:

1. Bahasa yang kita miliki adalah salah satu petunjuk dari pada budaya suatu bangsa.

2. Bahasa yang digunakan oleh suatu bangsa adalah satu petunjuk apa yang ada dan tidak ada dalam kebudayaan suatu bangsa yang memiliki bahasa tersebut.

3. Setia bahasa dapat menjadi ´symbol` dari kebudayaan suatu bangsa yang mengenalkan bahasa tersebut.

Jadi nampaknya kerusakan budaya dan bahasa kita - bahasa Melayu - di Sumatra telah dirusakkan oleh penjajah Indonesia-Jawa. Bagaimana pun kita harus segera memberikan ´Reaksi` terhadap perusakan kebudayaan ini dan kita sahkan bahwa kebudayaan Jawa sangat berbeda dengan budaya dan bahasa kita, bangsa-bangsa Sumatra. Tiba saatnya kita singkirkan unsur-unsur budaya Jawa - budaya penjajah - dari masyarakat kita.

Kita wajib memelihara serta mempertahankan kebudayaan dan tradisi yang kaya dengan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan sebagai warisan nenek moyang kita.

Sayang, Kebudayaan kita terpaksa harus bertarung atau bersambung dengan kebudayaan yang dibawa oleh penjajah Indonesia-Jawa. Sehari kita membiarkannya, maka kebudayaan Jawa akan bergerak secara mudah dan cepat seperti kilat yang menyambar. Kesiagaan kita menjaga kelangsungan budaya dan tradisi adalah salah satu tanda dari kesetiaan kita kepada bangsa dan sebagai isyarat bahwa kita bangsa beradab yang tidak mau meyerah. ( Bersambung Bab ke-5. BAHAYA "WALKING LIES")

RENUNGAN !

PENJAJAH INDONESIA-JAWA TDAK MUNGKIN DAPAT MERAMPOK TANAH-TANAH DI BUMI SUMATRA, SEBELUM DILEMAHKAN, DIBINGUNGKAN DAN DIPERBODOHKAN KITA TERLEBIH DAHULU, SUPAYA KITA HILANG KEPERCAYAAN KEPADA DIRI KITA SENDIRI. OLEH JAWA SEDANG BERUSAHA MENGHANCURKAN SEMANGAT DAN PIKIRAN KITA LEBIH AWAL LAGI, SEBELUM DAPAT MENGHANCURKAN BADAN KITA, JIKA PERAMPOK JAWA INI DAPAT MEYAKINKAN KITA BAHWA KITA BUKAN ORANG SUMATRA TETAPI ORANG "INDONESIA" - ITU SAMA JUGA KITA MENGAKU KITA BUKAN ANAK IBU DAN AYAH KITA SESUDAH ITU BARU JAWA DAPAT MENGAMBIL HARTA PUSAKA KITA, SEBAB KITA SUDAH GILA DAN HARTA PUSAKA ORANG YANG SUDAH GILA SELALU JATUH KEPADA ORANG LAIN.

0 komentar:

Posting Komentar